Senin, 22 Februari 2010

Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Menggunakan Peta Konsep Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Kimia siswa SMA N I Sibolga


OLeh Dhian N.F. Hutabarat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu masalah pokok dalam kehidupan manusia, karena tanpa pendidikan segala apa yang diinginkan tidak dapat terlaksana. Banyak upaya yang telah dilakukan dinas pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan seperti penguasaan guru terhadap konsep yang akan diajarkan, pelaksanaan strategi pembelajaran yang efektif dan efisien, pembaharuan kurikulum, memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, penataran guru, penggunaan metode belajar, pendekatan metode belajar dan sebagainya.
Beberapa indikator rendahnya mutu pendidikan di Indonesia diantaranya: rendahnya nilai rata-rata yang dicapai dalam UAN, rendahnya daya serap peserta didik dalam menerima bahan pelajaran yang diberikan dan rendahnya keterkaitan dan kesesuaian antara lulusan yang ada dengan kebutuhan akan tenaga kerja dalam masyarakat. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya.
Rendahnya hasil belajar kimia mungkin disebabkan karena pengajaran kimia yang diberikan dalam bentuk yang kurang menarik dan terkesan sulit, sehingga siswa lebih dulu merasa jenuh sebelum mempelajarinya. Disini peran guru sangat diharapkan, guru diharapkan mampu menjadikan pelajaran terasa mudah dan menyenangkan. Bertolak dari permasalahan yang diatas, perlu dinyatakan suatu cara untuk mengatasi rendahnya hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran kimia, yaitu dengan mengubah metode mengajar guru dan cara belajar yang digunakan siswa dalam kelas. Guru harus mampu memberikan pengajaran yang efektif dan variatif sehingga indikator pelajaran dalam suatu proses belajar mengajar dapat tercapai dengan baik.
Slavin (1986) menelaah penelitian melaporkan bahwa 45 penelitian telah dilaksanakan antara tahun 1972 sampai dengan tahun 1986, menyelidiki pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar. Dari 45 laporan tersebut, 37 diantaranya menunjukkan bahwa kelas kooperatif menunjukkan hasil belajar yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibanding dengan pengalaman-pengalaman belajar individual atau kompetitif.
Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep-konsep kimia tersebut, tidak terlepas dari keterampilan guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan desain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian siswa saling tergantung satu sama lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (kelompok ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa tersebut kembali pada tim (kelompok asal) untuk menjelaskan kepada anggota kelompok lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Efektifitas penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sebelumnya pernah diteliti sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok materi minyak bumi, dengan menggunakan lembar kerja siswa, besar pengaruhnya mencapai 34,17 % (Safitri, 2006).
Melalui tipe jigsaw inilah interaksi antara siswa dengan siswa dan interaksi guru dengan siswa harus ditekankan dalam proses belajar mengajar. Pemilihan dan penerapan metode dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memungkinkan penyajian materi mencapai tujuan pembelajaran akan lebih aktif. Demikian juga dalam pelajaran kimia di SMA, bahwa bagi sebagian siswa pelajaran kimia merupakan pelajaran yang sulit dan membosankan, maka untuk itu peranan guru dalam memilih model pembelajaran sangat penting . Dengan pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran diharapkan siswa lebih termotivasi dan aktif dalam belajar sehingga hasil belajarnya dapat meningkat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menggunakan Peta Konsep Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa SMA Negeri I Sibolga”.

1.2. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasi permasalahan yaitu :
1. Apakah guru kimia telah memiliki metode pembelajaran yang baik?
2. Apakah siswa sudah aktif dalam pembelajaran kimia?
3. Bagaimanakah penyampaian materi yang dilakukan oleh guru di dalam kelas?
4. Mengapa minat belajar siswa pada mata pelajaran kimia rendah?
5. Mengapa siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam memahami konsep-konsep mata pelajaran kimia?

1.3. Batasan Masalah
Karena beragamnya faktor yang mempengaruhi hasil belajar kimia siswa dan keterbatasan kemampuan serta waktu peneliti, maka peneliti membuat batasan masalah sebagai berikut:
1. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan peta konsep, pada pokok bahasan Struktur Atom Kelas XI di SMA Negeri I Sibolga tahun ajaran 2009/2010.
2. Mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan peta konsep pada pokok bahasan struktur atom kelas XI di SMA Negeri I Sibolga tahun ajaran 2009/2010 terhadap hasil belajar kimia siswa.

1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Sibolga pada materi pokok struktur atom?

1.5. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hasil belajar siswa yang diajar dengan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menggunakan peta konsep pada materi pokok struktur atom.
2. Untuk mengetahui hasil belajar siswa yang diajar dengan metode konvensional pada materi pokok struktur atom.

1.6. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu :
1. Memberikan informasi bagi guru dalam mencari alternatif cara pengajaran yang efektif dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Sebagai bahan studi banding mahasiswa lain yang ingin melakukan penelitian yang relevan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis.
2.1.1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Kemp (Syafaruddin, 2005:201) juga menyatakan:
Pembelajaran kooperatif adalah suatu jenis khusus daru aktivitas kelompok yang berusaha untuk memajukan pembelajaran dan keterampilan social dengan kerja sama tiga konsep yaitu:(a) penghargaan kelompok, (b) pertanggungjawaban pribadi, (c) peluang yang sama untuk berhasil.

Berdasarkan keempat komponen tersebut disarankan bahwa pembelajaran kooperatif membutuhkan perencanaan yang hati-hati dan pelaksanaan yang sistematik. Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belumselesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Cooperative Learning adalah terminologi umum bagi strategi pembelajaran yang dapat untuk membantu mengembangkan siswa dalam kelompok untuk bekerjasama dan berinteraksi satu sama lain. Pembelajaran kooperatif merupakan pondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi siswa. Dengan memiliki dorongan atau motivasi yang positif seorang siswa akan menunjukkan minatnya. Adapun teknik Cooperative Learning menurut Rusmini ada 4 macam, yaitu (1) Student Team Achievment Division (STAD), (2) Jigsaw, (3) Team Games Tournament (TGT), dan (4) Group Investigation.

2.1.2. Unsur-unsur Dalam Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Anita Lie (2003:28) dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar kelompok, tetapi ada unsure-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David Jhonson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bias dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu:
2.1.2.1. Saling ketergantungan positif
Keberhasilan kelompok sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan pelajaran.
2.1.2.2. Tanggung jawab perseorangan
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran kooperatif membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
2.1.2.3. Tatap muka
Kesempatan bertatap muka dan berdiskusi akan memberikan interaksi untuk membentuk energi bagi semua anggota. Hasil pemikiran beberapa orang akan lebih kaya dari pada satu orang. Pada kegiatan ini akan memanfaatkan kelebihan dan saling mengisi kekurangan masing-masing siswa.
2.1.2.4. Komunikasi antar anggota
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
2.1.2.5. Evaluasi proses kelompok
Evaluasi dapat dilakukan selang beberapa waktu setiap kali ada kerja kelompok atau beberapa sekolah yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran kooperatif.
Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) dapat dilihat dalam tabel berikut ini:








Tabel 2.1 Sintaksis Pembelajaran kooperatif










Sumber: Sudrajat, Ahmad (2008), Cooperative Learning Tipe Jigsaw (http://akmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/31/cooperative-learning-teknik-jigsaw/).
2.1.3. Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, dimana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994)
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
2.1.3.1. Hasil Belajar Akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan social, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai belajar akademik siswa dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2.1.3.2. Penerimaan Terhadap Perbedaaan Individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas pendapat orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
2.1.3.3. Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak siswa masih kurang dalam keterampilan sosial.

2.1.4. Pendekatan Dalam Proses Kooperatif
Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, terdapat beberapa variasidari model tersebut. Arends membagi pendekatan pembelajaran kooperaatif menjadi empat, yaitu: STAD, Jigsaw, Penyelidikan Kelompok, Pendekatan Struktur. (Ibrahim, 2000).
Student Teams Achievement Division (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Unversitas John Hopkin dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggunya dengan menggunakan presentasi verbal atau teks.


2.1.4.2. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan dalam pembelajaran kooperatif. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Thelon. Berbeda dengan STAD dan Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari maupun bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang lebih terpusat kepada guru.
2.1.4.3. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini dikembangkan oleh Spancer Kagen dan kawan-kawannya. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain. Pendekatan ini memberikan penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan untuk alternative terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi dimana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Pendekatan ini menghendaki agar siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual.
2.1.4.4. Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikemnbangkan dan diuji cobakan oleh Elliot Aronson dan kawan-kawannya. Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalalm kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa. Sehingga setiap anggota bertanggung jawab terhadap penguasaaan setiap komponen/sub topik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam:a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula.



Tabel 2.2. Perbandingan Empat Pendekatan dalam Pembelajaran Kooperatif
STAD Jigsaw Penyelidikan
kelompok Pendekatan
Struktur
Tujuan
Kognitif Informasi akademik sederhana Informasi akademik sederhana Informasi akaemik tingkat tinggi dan keterampilan inquiri Informasi akademik sederhana
Tujuan social Kerja kelompok dan kerja sama Kerja kelompok dan kerja sama Kerja dalam kelompok kompleks Keterampilan kelompok dan keterampilan sosial
Strutur tim Kelompok belajar heterogen dengan 4-5 orang anggota Kelompok belajar heterogen dengan 5-6 orang anggota menggunakan pola “kelompok asal” dan “kelompok ahli” Kelompok belajar dengan 5-6 orang anggota homogen Bervariasi, berdua, bertiga, kelompok 4-6 orang anggota
Pemilihan topic pelajaran Biasanya guru Biasanya guru Biasanya siswa Biasanya guru
Tugas utama Siswa dapat menggunakan lembar kegiatan dan saling membantu untuk menuntaskan materi belajarnya Siswa mempelajari materi dalam kelompok ahli kemudian membantu anggota kelompok asal mempelajari materi itu Siswa menyelesaikan inquiri kompleks Siswa mengerjakan tugas-tugas social dan kognitif
Penilaian Tes mingguan Bervariasi, dapat berupa tes mingguan Menyelesaikan proyek dan menulis laporan, dapat menggunakan tes uraian Bervariasi





Pengakuan Lembar pengetahuan pdan publikasi lain Publikasi lain Lembar pengakuan dan publikasi lain Bervariasi






2.2. Teori Belajar Kooperatif Jigsaw
Pembelajaran kooperatif jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas Jhon Hopkins (Arends, 2001). Teknik ini dapat digunakan dalam pelajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya.
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.

2.2.1. Unsur-unsur Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Menurut Ibrahim (2000) bahwa unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif jigsaw terdiri dari 7 unsur dasar pembelajaran sebagai berikut:
1) Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”.
2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.
3) Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama..
4) Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
5) Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
7) Siswa akan diminta mempertanggungjawaban secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

2.2.2. Ciri-Ciri Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Ibrahim (2000) pada umumnya pembelajaran yang menggunakan model kooperatif jigsaw memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, rendah.
3) Bilaman mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, jenis kelamin berbeda-beda.
4) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.

2.2.3. Langkah-langkah Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Dalam jigsaw para siswa dikelompokkan empat-empat atau lima-lima untuk mempelajari sebuah bab dalam bahan ajar. Oleh sebab itu, bab tersebut dibagi menjadi empat bagian atau lima bagian yang mengajak setiap amggota kelompok menjadi ahli pada suatu bagian dan kemudian bertanggung jawab untuk mengajar anggota lain dalam kelompok tentang materi pelajaran tersebut.


Tahap-tahapannya adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Bahan Ajar
Guru memilih satu bab dalam buku ajar kemudian membagi bab tersebut menjadi bagian-bagian sesuai dengan jumlah anggota kelompok 4 orang siswa, maka bab tersebut dibagi menjadi 5 bagian. Setiap anggota kelompok ditugasi untuk membaca bagiannya pada bab tersebut. Pada tahap selanjutnya masing-masing anggota kelompok bertemu dengan ahli-ahli dari kelompok lain dalam kelas.
Tahap 2: Diskusi Kelompok Ahli
Kelompok ahli harus melakukan pertemuan sekitar satu kali pertemuan untuk mendiskusikan topik yang ditugaskan setiap anggota kelompok ahli harus menerima lembar kerja ‘ahli’. Lembar kerja ahli harus memuat pertanyaan-pertanyaan dan kegiatan (jika ada) untuk mengarahkan diskusi kelompok. Tujuan kelompok ini adalah mempelajari sub-bab tersebut dan menyiapkan ringkasan presentasi untuk mengajukan sub-bab tersebut kepada kelompok kecil masing-masing.

Kelompok Asal

Kelompok Ahli
Gambar 2.1. Ilustrasi Kelompok Jigsaw
(Tiap kelompok ahli memiliki satu anggota dari tiap kelompok asal)
Tahap 3: Pelaporan dan pengetesan
Masing-masing anggota kelompok ahli kembali ke kelompok kecil masing-masing. Masing-masing anggota kelompok kecil mengajarkan topik masing-masing ke anggota lainnya dalam kelompok. Guru mendorong para siswa untuk menggunakan metode mengajar yang bervariasi. Guru mendorong anggota kelompok untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke pengajar dan mendiskusikan lembar kerja kelompok keci. Setelah diskusi kelompok kecil, guru menyelenggarakan tes yang mencakup materi satu bab penuh dalam waktu yang tak lebih dari 15 menit.
Tahap 4: Tahap Penghargaan
Tahap keempat model jigsaw adalah tahap penghargaan. Tahap ini merupakan tahap yang mampu mendorong siswa untuk lebih kompak. Pada tahap ini rata-rata peningkatan kelompok dilaporkan pada setiap penghargaan mingguan. Guru dapat menggunakan kata-katakhusus untuk memberikan kinerja kelompok semacam bintang sains, kelompok Einstein atau sebutan lainnya. Kinerja individu yang luar biasa juga dilaporkan.

2.3. Media Peta Konsep
Walaupun para ahli psikologis menyadari pentingnya suatu konsep tetapi suatu definisi yang tepat belum diketahui. Belajar konsep merupakan suatu hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun berpikir, dan merupakan dasar bagi proses yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Untuk memecahkan masalah siswa harus mengetahui atura-aturan yang relevan dan didasarkan pada konsep-konsep yang diperoleh.
Definisi yang ada dalam kamus konsep adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide yang umun dan abstrak (Dahar, 1989). Menurut Rosser (Dahar, 1989) konsep adalah suatu abstraksi yang mewakilisuatu objek, kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan yang memiliki atribut-atribut yang sama. Menentukan konsep yang akan diajarkan pada siswa perlu memperhatikan strategi yang tepat. Pembelajaran dengan menggunakanmedia peta konsep dapat dijadikan sebagai sarana dalam pengajaran. Dengan menetapkan media peta konsep sebagai sarana pembelajaran, maka perlu mengetahui apa itu media peta konsep, ciri-cirinya, teknik penyusunannya serta manfaatnya dalam kegiatan pembelajaran.

2.3.1. Pengertian dan Ciri-Ciri Media Peta Konsep
Pandley, dkk (Gultom, 2003) mengemukakan bahwa peta konsep adalah peta ynag dimulai dari inti permasalahan sampa pada pendukung yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, sehingga dapat membentuk pengetahuan dan mempermudah permasalahan suatu topik pelajaran. Nakhlen (Gultom, 2003) menyatakan bahwa dalam membuat peta konsep adalah memikirkan apa yang menjadi “pusat” topik yang akan diajarkan. Sesuatu yang dianggap sebagai konsep inti, kemudian menuliskan kata atau peristilahan dan rumus yang memiliki arti yaitu yang memiliki hubungan dengan konsep inti sehingga akhirnya membentuk satu peta hubungan integral dan saling terkait anatr konsep atas-bawah-samping.
Secara umum, peta konsep dapat digunakan untuk mendesain materi pelajaran sehingga pelajaran tersebut mudah dipahami. Menurut Zaini, (2000) peta konsep memiliki ciri-ciri atau karateristik sebagai berikut:
1) Biasanya berstruktur hirarki dengan lebih insklusif, konsep-konsep general terletak pada bagian atas, kemudian yang kurang ekslusif konsep-konsep khusus diletakkan pada bagian bawah peta.
2) Kata-kata yang berhubungan selalu ada diatas garis yang menghubungkan konsep-konsep.
3) Peta konsep mengalir dari atas ke bawah tanda panah digunakan untuk menunjukkan arah hubungan.
4) Peta konsep adalah gambaran pemahaman seseorang tentang sebuah masalah.
5) Kekuatan peta konsep berasal dari inter-koneksi diantara dan antara konsep-konsep.
Penggunaaan media peta konsep berkembang pesat dan telah banyak dipergunakan dalam berbagai bidang pendidikan. Pada bidanh kimia dibuat oleh Pandley dan Naklen (1994) untuk pokok bahasan asam-basa dan oleh Alberto Pier Giorgiao A (1996) pada pokok bahasan oksidasi-reduksi. Dari hasil penelitian yang mereka lakukan menunjukkan hasil penelitian yang positif yaitu meningkatkan prestasi belajar siswa. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Silitonga dan Tambunan pada pokok bahasan konsep mol di SMA menunjukkan hasil yang positif dan berdasarkan hasil ini disarankan pada tenaga pengajar untuk memberikan media peta konsep dalam mengajar selain mudah dibuat, biayanya kecil dan dapat dilakukan oleh semua guru ataupun siswa (Tambunan dan Simanjuntak, 2004).
Dalam melakukan kegiatan praktikum, media peta konsep merupakan suatu alat yang efektif digunakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Naklen (Situmorang, 2000) dalam mengajarkan kimia di laboratorium untuk pokok bahasan asam basa menunjukkan hasil yang positif. Dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan media peta konsep kesan percobaan dapat diingat kebih lama.

2.3.2. Teknik Menyusun Peta Konsep
Menurut Okebukola 1992 (Lufri, 2003), peta konsep dapat diterapkan terhadap beberapa pokok bahasan dan terhadap beberapa tingkat (level) dalam pokok bahasan. Tahap utama menyusun peta konsep adalah:
1) Mendata konsep-konsep dan ide-ide utama dalam bentuk kata atau frasa.
2) Menyusun peta konsep dari ide-ide utama tersebut dalam suatu hirarki, mulai dari yang paling umum, inklusif dan abstrak ke yang paling spesifik dan konkrit dan semuanya dikembangkan denagn garis panah.
3) Menempatkan kata atau frase pada posisi yang tepat dan dihubungkan dengan garis dan tanda panah, sehingga membentuk rangkaian atau proposisi.



2.3.3. Manfaat Peta Konsep
Dalam dunia pendidikan, peta konsep dapat diterapkan untuk berbagai tujuan. Menurut Dahar (1989) manfaat peta konsep antara lain:
1) Menyelidiki apa yang telah diketahui siswa.
2) Mempelajari cara belajar siswa .
3) Mengungkap konsep yang salah.
4) Sebagai alat evaluasi.

2. 4. Struktur Atom
2. 4.1. Teori Atom Niels Bohr dan Mekanika Kuantum
2.4.1.1. Spektrum Atom
Berdasarkan ilmu fisika, kita mengetahui bahwa pelangi terjadi karena berkas sinar matahari diuraikan oleh butir- butir air hujan. Hal serupa juga dapat terjadi jika seberkas sinar matahari dijatuhkan pada sebuah prisma. Pelangi merupakan bukti bahwa sinar matahari merupakan gabungan dari berbagai warna (panjang gelombang) secara sinambung, yaitu merah-jingga-kuning-hijau-biru-ungu. Uraian warna yang sinambung seperti pelangi, kita sebut spektrum kontinu.
Berbeda halnya dengan sinar matahari, radiasi (cahaya) yang dihasilkan oleh unsur gas yang berpijar hanya mengandung beberapa panjang gelombang (warna) secara terputus – putus, sehingga disebut spektrum diskontinu atau spektrum garis.

2.4.1.2. Model Atom Niels Bohr
Telah disebutkan bahwa spektrum atom berupa spektrum garis, pada tahun 1913, Niels Bohr dapat menjelaskan fenomena ini dengan menggunakan teori kuantum Planck. Menurut Bohr, spektrum garis menunjukan bahwa elektron dalam atom hanya dapat beredar pada lintasan – lintasan dengan tingkat energi tertentu. Pada lintasan itu, elektron dapat beredar tanpa pemancaran atau penyerapan energi. Lintasan elektron tersebut berupa lingkaran dengan jari –jari tertentu yang disebut sebagai kulit atom.
Setiap kulit ditandai dengan suatu bilangan yang disebut bilangan kuantum (n), yaitu dimulai dari kulit paling dalam, n= 1,2,3,4, dan seterusnya, dan dinyatakan dengan lambang K, L, M, N, dan seterusnya.
Pada keadaan normal, elektron menempati kulit- kulit dengan tingkat energi terendah. Keadaan dimana elektron mengisi kulit- kulit dengan tingkat energi terendah, disebut tingkat dasar. Apabila mendapat energi dari luar, maka elektron akan menyerap energi yang sesuai lalu pindah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Keadaan dimana elektron ada yang menempati tingkat energi yang lebih tinggi, disebut keadaan eksitasi. Keadaan tereksitasi nerupakan keadaan yang tidak stabil dan hanya berlangsung pada waktu yang singkat.
Oleh karena perpindahan elektron ini berlangsung antara kulit yang sudah tertentu tingkat energinya, maka atom hanya akan memancarkan radiasi dengan tingkat energi yang tertentu pula. Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa spetrum unsur berupa spektrum garis

2.4.1.3. Model Atom Mekanika Kuantum
Kelemahan dari model atom Niels Bohr yaitu tidak dapat menjelaskan mengapa elektron hanya boleh berada pada tingkat energi tertentu. Pertanyaan ini dijelaskan oleh Louis de Broglie dengan dualisme partikel gelombang.
Menurut de Broglie, selain bersifat partikel, elektron dapat bersifat gelombang, sedangkan Niels Nohr berpendapat bahwa elektron adalah partikel. Pendapat de Broglie yang dikembangkan oleh Erwin Schrodinger dan W.Heisenberg melahirkan teori atom Modern. Teori atom ini dikenal dengan nama teori atom mekanika kuantum. Prinsip dasar teori mekanika kuantum adalah gerakan elektron dalam mengelilingi inti bersifat seperti gelombang.
Berdasarkan teori mekanika kuantuum, keberdaan elektron dalam lintasan tidak dapat ditentukan dengan pasti, yang dapat diketahui hanya daerah kebolehjadian ditemukannya elektron.Teori ini dikemukakan oleh Werner Heisenberg, dan dinamakan prinsip ketidakpastian Heisenberg.


2.4.2. Bilangan Kuantum
a. Bilangan Kuantum Utama (n)
Bilangan kuantum utama menetukan besarnya tingkat energi suatu elektron yang mencirikan ukuran orbital. Lambang dari bilangan kuantum utama adalah “n”. Bilangan kuantum utama menyatakan kulit tempat ditemukannya elektron yang dinyatakan dalam bilangan bulat positif.

Jenis Kulit Nilai (n)
K 1
L 2
M 3
N 4

Tabel 2.3. Hubungan jenis kulit dan nilai bilangan kuantum utama.
b. Bilangan Kuantum Azimuth (l)
Bilangan kuantum azimut menyatakan sub kulit tempat elektron berada dan bentuk orbital, serta menentukan besarnya momentum sudut elektron terhadap inti.
Banyaknya subkulit tempat elektron berada tergantung pada nilai bilangan kuantum utama (n). Nilai bilangan kuantum azimut dari 0 sampai dengan (n - 1). Bila n = 1, maka hanya ada satu subkulit yaitu l = 0. Sedangkan n = 2, maka ada dua subkulit yaitu l = 0 dan l = 1.
Untuk setiap sub kulit diberi lambang berdasarkan harga bilangan kuantum
• Subkulit yang mempunyai harga l = 0 diberi lambang s (sharp)
• Subkulit yang mempunyai harga l = 1 diberi lambang p (prinsipal)
• Subkulit yang mempunyai harga l = 2 diberi lambang d (diffuse)
• Subkulit yang mempunyai harga l = 3 diberi lambang f (fundamental)
Table berikut menunjukan keterkaitan jumlah kulit dengan banyaknya subkulit serta jenis subkulit dalam suatu atom

Kulit Nilai n Nilai I Jenis Subkulit
K 1 0 1s
L 2 0 2s
1 2p
M 3 0 3s
1 3p
2 3d
N 4 0 4s
1 4p
2 4d
3 4f
Tabel 2.4. Hubungan bilangan kuantum utama dan azimut serta subkulit.

c. Bilangan Kuantum Magnetik (m)
Bilangan kuantum magetik menyatakan orbital tempat ditemukannya elektron pada subkulit tertentu dan arah momentum sudut elektron terhadap inti. Sehingga nilai bilangan kuantum magnetik berhubungan dengan bilangan kuantum azimuth.
Kuantum Azimut Tanda
Orbital Bilangan Kuantum
Magnetik Gambaran
Orbital Jumlah
Orbital
0 s 0
1
1 p -1, 0, +1
3
2 d -2, -1, 0, +1, +2
5
3 f -3, -2, -1, 0, +1, +2, +3
7
Tabel 2.5. Hubungan bilangan kuantum azimut dengan bilangan kuantum magnetic

d. Bilangan Kuantum Spin (S)
Lambang bilangan kuantum spin adalah s yang menyatakan arah rotasi elektron pada porosnya. Ada dua kemungkinan arah rotasi yaitu searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Begitulah elektron yang berotasi, bila searah jarum jam maka memiliki nilai s=+½ dan dalam orbital dituliskan dengan tanda panah ke atas. Sebaliknya untuk elektron yang berotasi berlawanan arah jarum jam maka memiliki nilai s = -½ dan dalam orbital dituliskan dengan tanda panah ke bawah.
Dari uraian arah rotasi maka kiata dapat mengetahui bahwa dalam satu orbital atau kotak maksimum memiliki 2 elektron.
Kulit N L M Sub kulit Gambaran Orbital Jumlah Orbital Jumlah Orbital Maksimum
Subkulit Kulit
K 1 0 0 1s
1 2 2
L 2 0 0 2s
1 2 8
1 -1, 0, +1 2p
3 6
M 3 0 0 3s
1 2 18
1 -1, 0, +1 3p
3 6
2 -2, -1, 0, +1, +2 3d
5 10
N 4 0 0 4s
1 2 32
1 -1, 0, +1 4p
3 6
2 -2, -1, 0, +1, +2 4d
5 10
3 -3, -2, -1, 0, +1, +2, +3 4f
7 14
Tabel 2.6. Hubungan ke empat bilangan kuantum.

e. Bentuk Orbital
Setiap orbital mempunyai ukuran, bentuk dan arah orientasi ruang yang ditentukan oleh bilangan kuantum n, l,dan m. orbital – orbital tersebut bergabung membentuk suatu subkulit dan subkulit bergabung membentuk kulit atau tingkat energi.
Subkulit s tersusun dari sebuah orbital dengan bilangan kuantum l = 0 dan mempunyai ukuran yang berbeda tergantung harga bilangan kuantum n (bagian dari kulit yang mana). Probabilitasuntuk menentukan electron pada orbital s adalah sama untuk ke segala arah, maka bentuk ruang orbital s digambarkan seperti bola.




Gambar 2.2 Bentuk Orbital s
Subkulit p tersusun dari tiga orbital dengan bilangan kuantum l = 1. tiga orbital p tersebut adalah px, py, pz, bentuk ruanga orbital p digambarkan seperti dumbbell dengan probabilitas untuk menemukan electron semakin kecil mendekati inti



Gambar 2.3. Bentuk orbital – orbital PX, PY, PZ
Subkulit d tersusun dari lima orbital yang mempunyai bilangan kuantum l = 2. Arah orientasi dari orbital d dapat dibedakan menjadi kelompok, yaitu :
a. mempunyai orientasi di antara sumbu, terdiri dari 3 orbital, yaitu : dxy, dxz, dan dyz
b mempunyai orientasi pada sumbu, terdiri dari 2 orbital, yaitu : dx2-y2, dz2










Gambar 2.4. Bebagai bentuk orbital d
2.4.3. Konfigurasi Elektron
Konfigurasi electron menggambarkan penataan elektron – elektron dalam suatu atom, konfigurasi electron adalah khas untuk suatu atom. Meskipun demikian, terdapat suatu aturan yang bersifaat umum dalam memperkirakan penataan electron dalam suatu atom.
a. Aturan Aufbau
Azas Aufbau (berasal dari bahasa Jerman yang berarti membangun). Menurut prinsip Aufbau suatu atom akan berada dalam kondisi yang stabil bila mempunyai energi yang rendah, sedangkan elektron – elektron akan berada pada orbital – orbital yang bergabung membentuk subkulit. Jadi, elektron mempunyai kecenderungan akan menempati subkulit yang tingkat energinya terendah.









Gambar 2.5. Diagram Curah Hujan
Berdasarkan gambar diatas, maka urutan tingkat energi dari yang paling rendah ke yang paling tinggi.
1s<2s<2p<3s<3p<4s<3d<4p<46….dan seterusnya. b. Larangan Pauli Larangan Pauli atau eksklusi Pauli menyatakan bahwa didalam suatu atom tidak boleh terdapat dua elektron dengan empat bilangan kuantum yang sama. Orbital yang sama akan mempunyai bilangan kuantum n,l,m. yang sama. Dengan demikian, yang dapat membedakannya hanya bilangan kuantum spin (s). Jadi, setiap orbital hanya dapat berisi 2 elektron dengan spin (arah putar) yang berlawanan. Dengan adanya larangan Pauli ini, maka electron yang dapat menempati suatu subkulit terbatas hanya dua kali dari jumlah orbitalnya. Jumlah maksimum electron adalah sebagai berikut : • Subkulit s terdiri dari 1 orbital dapat ditempati maksimum 2 elektron. • Subkulit p terdiri dari 3 orbital dapat ditempati maksimum 6 elektron. • Subkulit d terdiri dari 5 orbital dapat ditempati maksimum 10 elektron. c. Aturan Hund Friendrich Hund (1927) seorang ahli fisika dari Jerman mengemukakan aturan pengisian elektron pada orbital, yakni : “orbital – orbital dengan energi yang sama masing-masing diisi lebih dulu oleh satu elektron arah (spin) yang sama atau setelah semua orbital masing-masing terisi satu elektron kemudian elektron akan memasuki orbital-orbital secara urut dengan arah spin yang berlawanan ”. Contoh : P2 dituliskan Bukan P4 dituliskan Bukan Bukan pula P5 dituliskan Bukan P6 dituliskan Bukan Bukan pula Tabel 2.7. Kaidah Aturan Hund 2.4.4. Sistem Periodik Dan Konfigurasi Elektron Sistem periodik unsure disusun berdasarkan pengamatan sifat kimia dan sifat fisis unsur – unsur. Unsur yang mempunyai kemiripan sifat kimia dan sifat fisis diletakkan dalam satu golongan. Ada keterkaitan antara konfigurasi elektron dengan letak unsur dalam sistem periodik. Untuk mengetahui hubungan tersebut dapat dijelaskan berikut ini. a) Menentukan Letak Golongan Letak golongan suatu unsur dalam sistem periodic unsur dapat diramalkan subkulit terakhir yang terisi electron • Jika konfigurasi electron berakhir pada sn maka unsur tersebut pada golongan nA. • Jika konfigurasi electron berakhir pada pn maka unsur tersebut terdapat pada golongan (n + 2)A. • Jika konfigurasi electron berakhir pada dn maka unsur tersebut terdapat pada golongan (n + 2)B dengan catatan bahwa untuk (n +2) berjumlah 8,9, dan 10, unsur tersebut berada dalam golongan VIIIB, sedangkan untuk (n +2) = 11 dan 12 unsur terletak pada golongan IB dan IIB • Jika konfigurasi electron berakhir pada fn maka unsure tersebut terdapat pada lantanida dan aktinida. b) Menentukan Letak Periode Letak periode suatu unsur dapat diramalkan dari jumlah kulit electron dari unsur tersebut. Jumlah kulit ditandai dengan angka di depan subkulit yang terbesar. Jadi , bila konfigurasi terakhir ns, np, (n-1)d ns,(n-2)f, (n -1)d10 ns2 berarti unsur tersebut pada periode n. 2.5. Hasil Belajar. Suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan instruksional khusus dari bahan tersebut. Hasil belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri individu sebagai hasil dari pengalamannya. Sudjana (1989:5) menyatakan bahwa belajar adalah proses yang aktif, suatu fungsi dari keseluruhan lingkungan di sekitarnya. Apabila berbicara mengenai belajar berarti membicarakan begaimana tingkah laku itu berubah melalui pengalaman dan latihan. Terbentuknya tingkah laku sebagai hasil belajat memiliki tiga ciri pokok, yakni: 1. Tingkah laku baru itu berupa kemampuan aktual dan potensi. 2. Kemampuan itu berlaku dalam waktu yang realtif lama. 3. Kemampuan baru diperoleh melalui usaha. Dari yang telah dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar terjadi setelah adanya perubahan tingkah laku 2.6. Kerangka Konseptual. Belajar kimia merupakan suatu proses yang aktif dan punya tujuan. Artinya kondisi belajar kimia harus melibatan semua siswa dalam interaksi yang aktif dengan hasil yang diharapkan. Bagi pembelajaran kooperatif, program pembelajaran didasarkan pada faham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif adalah strategi belajar mengajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajarannya. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajarnya dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Sehingga dalam metode ini diharapkan para siswa dapat saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah didefinisikan apabila dalam pembelajaran kimia dengan diterapkannya pembelajaran dengan metode jigsaw, maka diharapkan siswa akan memperoleh hasil belajar kimia yang lebih baik dari sebelumnya. 2.7. Hipotesis Berdasarkan kerangka teoritis dan kerangka konseptual tentang pemanfaatan media komputer dalam pembelajaran kimia, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha : Hasil belajar kimia siswa diajar melalui metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Media Peta Konsep lebih tinggi dari pada hasil belajar kimia siswa tanpa Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Media Peta konsep. Ho : Hasil belajar kimia siswa diajar melalui metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Media Peta Konsep tidak lebih tinggi dari pada hasil belajar kimia siswa yang diajar dengan metode konvensional. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri I Sibolga. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2009 semester ganjil Tahun Pembelajaran 2009/2010. 3.2. Populasi dan Sampel a) Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas XI IPA SMA Negeri I Sibolga yakni sebanyak 5 kelas. b) Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah dengan mengambil dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol secara purposive sampling. Kelas eksperimen adalah kelas dengan jumlah 40 orang. Kelas kontrol adalah kelas dengan jumlah 40 orang. Jadi, jumlah keseluruhan sampel sebanyak 80 orang. 3.3. Variabel Penelitian 3.3.1. Variabel Bebas Variabel bebas penelitian ini adalah penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dikombinasi peta konsep. 3.3.2. Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar kimia siswa. 3.3.3. Variabel Kontrol Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah media yang digunakan, bahan ajar yang digunakan (buku kima yang dipakai). 3.4. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental. Dalam melaksanakan penelitian ini dilibatkan 2 perlakuan yang berbeda pada kedua kelas yaitu: Tabel 3.1 Desain Penelitian Efektifitas Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Kelompok Tes Awal Perlakuan Tes Akhir Eksperimen T1 X1 T2 Kontrol T1 X2 T2 Keterangan: T1 : Pemberian test awal (Pre-test) T2 : Pemberian test akhir (Post-test) X1 : Perlakuan dengan menggunakan pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dengan menggunakan peta konsep X2 : Perlakuan dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Adapun tahap - tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tahap persiapan meliputi : • Menetapkan jadwal penelitian • Menyusun RPP • Menyusun soal test. • Uji Test Awal 2. Tahap pelaksanaan penelitian meliputi: • Pengambilan sampel dari populasi. • Membagi sampel menjadi eksperimen dan kontrol, kemudian kelas eksperimen dan kontrol diberikan pre tes untuk medapatkan data awal. • Siswa diberi pengajaran. Di kelas eksperimen diterapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan peta konsep. Sedangkan untuk kelas kontrol diterapkan pembelajaran konvensional. • Siswa diberi pos tes untuk mengukur hasil belajar siswa, kemudian dilakukan uji hipotesis. • Setelah uji hipotesis dapat diambil kesimpulan. Tahapan penelitian dapat digambarkan berikut ini Gambar 3.1 Tahapan Penelitian 3.5. Instrumen Penelitian Instrumen yang akan digunakan adalah tes hasil belajar kimia siswa, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur sejauh mana siswa menguasai materi yang telah diberikan. Tes hasil belajar ini dalam bentuk tes objektif atau dalam bentuk pilihan ganda sebanyak 20 soal dengan 5 option. Tes hasil belajar Kimia diberikan sebelum dan setelah siswa mempelajari materi dengan pembelajaran kooperatif dengan tipe Jigsaw dengan menggunakan peta konsep. Tabel 3.2. Kisi – Kisi Soal Uji coba tes Objektif Pada Pokok Bahasan Struktur Atom Kompetensi Dasar Indikator C1 C2 C3 C4 Menjelaskan teori atom Bohr dan mekanika kuantum untuk menuliskan konfigurasi elektron dan diagram orbital serta menentukan letak unsur dalam erio eriodic. Mengenal tentang teori atom mekanika kuantum 1,2,3,4 Menentukan bilangan kuantum 5,6,7 11,12, 15,17 18,19 Menggambarkan bentuk-bentuk orbital 9 8 Menjelaskan kulit dan sub kulit serta hubungannya dengan bilangan kuantum 16 10,13, 14 Menggunakan prinsip Aufbau, aturan Hund, dan azas larangan Pauli untuk menuliskan konfigurasi elektron dan diagram orbital 20 21,22, 24 Menghubungkan konfigurasi elektron suatu unsur dengan letaknya dalam sistem periodik 31 25,26, 27,29, 30 23,28,32,33,34,35. 3.5.1. Uji Validitas Untuk menentukan Validitas Tes pilihan ganda digunakan rumus product moment sebagai berikut : (Arikunto,2003:72 ) Dimana: rxy = Korelasi antara skor soal dengan skor total  = Jumlah Skor Soal  = Jumlah Skor Total  = Jumlah pengairan Skor Soal dengan Skor Total N = Jumlah Soal 3.5.2. Uji Realibilitas. Untuk menguji realibilitas test pilihan ganda digunakan K-R 20 (Arikunto,2003:100) Dimana : r11 = Reliabilitas test secara keseluruhan p = Proporsi subjek yang menjawab item yang benar q = Proporsi subjek yang menjawab item yang salah (q = 1 – p) pq = Jumlah hasil perkalian antara p dan q n = Banyak item S = Standart deviasi dari test 3.5.3. Uji Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Dalam penelitian ini uji tingkat kesukaran dilakukan dengan persamaan : (Arikunto,2003:213) Dimana: P = Indeks kesukaran . B = Banyaknya siswa JS = Jumlah siswa peserta test Besar indeks kesukaran soal berada antara 0,00 – 0,99 dengan kriteria tingkat kesukaran soal adalah sebagai berikut: 0,00 – 0.30 Tergolong sukar 0,30 – 0,70 Tergolong sedang 0,70 – 1,00 Tergolong mudah Soal yang dianggap baik, yaitu soal yang sedang adalah soal-soal yang memiliki indeks kesukaran 0,30 sampai 0,70. Sedangkan untuk mencari taraf daya pembeda digunakan rumus: Dengan: BA = Banyaknya kelompok atas yang menjawab item dengan benar BB = Banyaknya kelompok bawah yang menjawab item dengan benar JB = Jumlah peserta kelompok bawah JA = Jumlah peserta kelompok atas D = Indeks daya pembeda PA = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar (P sebagai indeks kesukaran) PB = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar Dalam hal ini kelompok bawah dan atas adalah masing-masing 27% dari jumlah keseluruhan setelah diurutkan. Klasifikasi daya pembeda: D : 0,00 – 0,20 = jelek D : 0,21 – 0,40 = cukup D : 0,41 – 0,70 = baik D : 0,71 – 1,00 = sangat baik Butir-butir soal yang baik adalah butir-butir soal yang memiliki indeks diskriminasi 0,4 sampai 0,7. 3.6. Teknik Analisa Data 3.6.1. Uji Normalitas Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Liliefors (Sudjana, 1996 : 466) dengan langkah – langkah sebagai berikut : o Menvari skor baku dengan rumus: o Untuk setiap bilangan baku ini menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F(Zi) = P(Z ≤ Z1) o Menghitung proporsi Z1, Z2,....Zn yang lebih kecil atau sama dengan Zi. Jika proporsi ini dinyatakan dengan S (Zi) maka: banyaknya Z1, Z2,...Zn yang ≤ Zi S (Z¬i) = n o Mengambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut, sebut namanya L¬hitung,. Bandingkan Lhitung dengan harga Ltabel (α = 0,05) o Jika Lhitung < Ltabel berarti data berdistribusi normal dan jika sebaliknya maka sampel tidak berdistribusi normal 3.6.2. Menentukan Homogenitas Data Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah cara varians terbesar dibandingkan varians terkecil (Usman , 19954 : 134) dengan langkah – langkah sebagai berikut : o Tuliskan Ha dan Ho dalam bentuk kalimat. o Tuliskan Ha dan Ho dalam bentuk statistik o Cari F hitung dengan rumus: o Tetapkan yaitu 0.05 o Hitung Ftabel = F (n varians besar – 1, n varians kecil - 1) o Bandingkan Fhitung dengan Ftabel o Tentukan kriteria pengujian, jika Fhitung < Ftabel o Tentukan kriteria pengujian, jika Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima (homogen) o Buat kesimpulan 3.6.3. Uji Hipotesis Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda dengan uji satu pihak, yaitu uji pihak kanan dengan = 0.05 rumus uji t sebagai berikut : ; dengan (Sudjana, 1999:239) Dimana: X1 = Rata-rata hasil ujian kemampuan hasil belajar kelas eksperimen X2 = Rata-rata hasil ujian kemampuan hasil belajar kelas kontrol n1 = ukuran kelompok kelas eksperimen n2 = ukuran kelompok kelas kontol S12 = varians kelas eksperimen S2 2 = varians kelas eksperimen < t < dengan dk = (n1 + n2 -2) dan α = 0,05. Untuk harga t lainnya Ho ditolak. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini telah terlebih dahulu diuji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembedanya. Berdasarkan hasil uji terhadap alat pengumpul data yang dilakukan kepada dosen ahli, maka dapat diuraikan sebagai berikut ini : 4.1.1. Validitas Instrumen Tes Uji validitas merupakan upaya untuk dapat mengetahui seberapa jauh tes mengukur apa yang hendak diukur Validitas instrumen tes dihitung dengan menggunakan rumus korelasi produk moment (lampiran) dengan ketentuan jika rhitung > rtabel pada dengan n = 40 maka soal dikatakan valid dan sebaliknya jika rhitung < rtabel maka soal dikatakan tidak valid. Berdasarkan tabel validitas (lampiran) menunjukkan bahwa dari 35 soal yang diujicobakan terdapat 20 soal yang valid, yaitu soal nomor 2, 3, 6, 7, 8, 10, 11, 14, 15, 18, 20, 21, 22, 25, 26, 28, 29, 30, 33, 35. Dari validitas instrumen juga terdapat 15 soal yang tidak valid, yaitu soal nomor 1, 4, 5, 9, 12, 13, 16, 17, 19, 23, 24, 27, 31, 32, 34. Soal yang valid memiliki peluang untuk digunakan sebagai instrumen dalam penelitian, namun soal yang tidak valid tidak dapat digunakan sebagai instrumen dalam penelitian. 4.1.2. Reliabilitas Instrumen Tes Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam BAB 3 bahwa reliabilitas adalah kemantapan/keterandalan/keajegan suatu pengukur, sehingga jika alat tersebut digunakan selalu memberikan hasil yang konsisten. Uji reliabilitas ini ditentukan dengan menggunakan rumus Kuder & Richardson (KR-20). Berdasarkan data uji reliabilitas tes dan perhitungan reliabilitas tes (lampiran) secara keseluruhan diperoleh reliabilitas tes (rhitung) sebesar 0,739. Setelah dibandingkan dengan rtabel= 0,312, rhitung > rtabel , dengan demikian maka soal-soal dalam instrumen tes penelitian ini reliabel.

4.1.3. Tingkat Kesukaran Instrumen Tes
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah. Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran (lampiran) terdapat soal yang dikategorikan sulit (P = 0,0-0,3), sedang (P = 0,31-0,7), dan mudah (0,71-1,0). Soal yang dikategorikan sulit sebanyak 3 soal, yaitu soal nomor 5, 9, 18 . Soal yang dikategorikan sedang sebanyak 27 soal, yaitu soal nomor 2, 4, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 35. Soal yang dikategorikan mudah sebanyak 5 soal, yaitu soal nomor 1, 3, 10, 17, 33.
4.1.4. Daya Pembeda Instrumen Tes
Kemampuan suatu soal untuk dapat membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah dapat diukur dari daya pembeda instrumen tes. Berdasarkan perhitungan daya pembeda (lampiran) terdapat daya pembeda soal yang dikategorikan sangat baik (D = 0,71-01,00), baik (D = 0,41-0,7), cukup (D = 0,21-0,4), jelek (D < 0,2). Soal yang dikategorikan dengan daya pembeda sangat baik sebanyak 3 soal, yaitu soal nomor 2, 20, 26, baik sebanyak 13 soal, yaitu soal nomor 3, 6, 7, 8, 11, 14, 15, 18, 21, 22, 25, 28, 29. Soal yang dikategorikan dengan daya pembeda cukup sebanyak 9 soal, yaitu soal nomor 10, 13, 23, 24, 27, 32, 33, 34, 35. Soal yang dikategorikan dengan daya pembeda jelek sebanyak 10 soal, yaitu soal nomor 1, 4, 5, 9, 12, 16, 17, 19, 30, 31.. Dengan demikian maka soal yang memenuhi syarat ( D = 0,2-0,8) hanya 22 soal dengan kategori cukup dan baik. Setelah dilakukan uji terhadap instrumen tes seperti yang dijelaskan di atas, maka soal yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai instrumen tes dalam penelitian adalah sebanyak 22 soal, yaitu soal nomor 3, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 15, 18, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 32, 33, 34, 35. 4.2. Deskripsi Data Hasil Penelitian Pada bagian ini akan diuraikan secara terperinci mengenai hasil penelitian tentang pengaruh metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan Peta Konsep dalam meningkatkan hasil belajar kimi siswa SMA Negeri 1 Sibolga. Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan ujicoba instrumen untuk mendapatkan data validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran soal dan daya pembeda soal. Dari hasil ujicoba instrumen yang terdiri dari 35 butir pertanyaan diperoleh hasil 20 soal dinyatakan valid, dan 15 soal lainnya dinyatakan tidak valid. Berdasarkan hasil tersebut, maka jumlah butir soal yang digunakan untuk mendapatkan data penelitian sebanyak 20 butir yang telah dinyatakan valid. Sedangkan butir soal yang dinyatakan tidak valid tidak diikutkan dalam penelitian. Sementara dari hasil perhitungan reliabilitas diperoleh nilai rhit = 0,739 yang berarti bahwa tingkat reliabilitas instrumen termasuk kategori tinggi. Untuk tingkat kesukaran soal, diketahui 5 soal tergolong kategori mudah, 27 soal tergolong kategori sedang dan 3 soal tergolong kategori sukar. Sedangkan pada daya pembeda soal, 3 soal tergolong kategori sangat baik, 13 soal tergolong kategori baik, 9 soal tergolong kategori cukup dan 10 soal tergolong kategori jelek. Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, pertama adalah data pretes yang digunakan untuk melihat pengetahuan awal siswa mengenai materi pokok struktur atom pada kedua kelas penelitian sebelum kedua kelas diberikan perlakuan dengan metode pembelajaran yang berbeda. Kedua adalah data postes atau data hasil belajar siswa pada kedua kelas setelah diberikan perlakuan dengan metode pembelajaran yang berbeda. 4.2.1. Deskripsi Nilai Pretes Siswa Dari hasil pretes diketahui nilai rata-rata hasil belajar siswa pada kelas Eksperimen sebesar 40,38 dengan simpangan baku (SD) sebesar 14,38, sedangkan pada kelas Kontrol diketahui nilai rata-rata hasil belajar siswa sebesar 40,50 dengan simpangan baku (SD) sebesar 11,76. Perbedaan nilai pretes pada kedua kelas dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1. Perbedaan Nilai Pretes pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Nilai f SD Nilai f SD 15 3 40,38 14,38 15 0 40,50 11,76 20 2 20 3 25 4 25 3 30 3 30 5 35 4 35 5 40 6 40 7 45 5 45 5 50 4 50 5 55 4 55 3 60 2 60 4 65 3 65 0 Jumlah 40 - - Jumlah 40 - - Untuk lebih jelasnya perbedaan nilai pretes kelas Eksperimen dan kelas Kontrol dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 4.1. Diagram perbedaan nilai pretes siswa kelas Eksperimen dan Kontrol 4.2.2. Deskripsi Nilai Postes Siswa Dari hasil postes diketahui nilai rata-rata hasil belajar siswa pada kelas Eksperimen sebesar 77,88 dengan simpangan baku (SD) sebesar 10,18 sedangkan pada kelas Kontrol diketahui nilai rata-rata hasil belajar siswa sebesar 60,13 dengan simpangan baku (SD) sebesar 11,68. Perbedaan nilai postes pada kedua kelas dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini. Tabel 4.2. Perbedaan Nilai Postes Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Nilai f SD Nilai f SD 60 3 77,88 10,18 40 3 60,13 11,68 65 4 45 3 70 5 50 5 75 8 55 6 80 7 60 7 85 5 65 5 90 4 70 4 95 4 75 3 - - 80 4 Jumlah 40 - - Jumlah 40 - - Untuk lebih jelasnya perbedaan nilai postes pada kelas Eksperimen dan kelas Kontrol dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 4.2. Diagram Perbedaan Nilai Postes kelas Eksperimen dan Kontrol 4.3. Analisis Data Hasil Penelitian Uji persyaratan analisis data meliputi uji normalitas dan uji homogenitas terhadap data pretes dan data postes pada kedua kelas penelitian. Berikut ini disajikan hasil uji persyaratan data pada kedua kelas penelitian. 4.3.1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Liliefors dengan taraf signifikansi α = 0,05. Hasil pengujian normalitas data pretes dan postes pada kelas Eksperimen dan kelas Kontrol dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.3. Pengujian Normalitas Data Penelitian No Data Kelas Lo Ltabel (α=0,05) Kesimpulan 1 2 Pretes Pretes Eksperimen Kontrol 0,0827 0,0910 0,1401 0,1401 Normal Normal 1 2 Postest Postest Eksperimen Kontrol 0,1103 0,1040 0,1401 0,1401 Normal Normal 4.3.2. Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan dengan membandingkan nilai varians data pretes dan data postes dari kedua kelas. Ringkasan hasil pengujian homogenitas data pretes dan data postes dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.4. Pengujian Homogenitas Data Penelitian No Data Kelas Varians Fhitung Ftabel (α=0,05) Kesimpulan 1 2 Pretes Pretes Eksperimen Kontrol 206,91 138,21 1,50 1,71 Homogen 1 2 Postes Postes Eksperimen Kontrol 103,70 136,52 1,32 1,71 Homogen Dari hasil perhitungan uji persyaratan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa data penelitian dinyatakan normal dan homogen sehingga telah memenuhi syarat untuk dilakukan pengujian hipotesis. 4.3.3. Uji Hipotesis Penelitian Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji beda (uji-t). Uji-t dilakukan dengan membandingkan nilai rata-rata hasil belajar dari kedua kelas penelitian. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, diketahui nilai rata-rata hasil belajar siswa pada kelas Eksperimen sebesar 77,88 sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada kelas Kontrol sebesar 60,13. Varians gabungan untuk kedua data hasil belajar tersebut adalah sebesar 10,96. Dengan menggunakan nilai rata-rata hasil belajar siswa dan varians gabungan dari kedua kelompok penelitian, maka dapat diketahui besar harga thitung yakni sebesar 7,24. Nilai thitung yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan nilai ttabel dengan dk (78) = 1,99 (dengan interpolasi). Dari hasil perbandingan harga thitung dengan ttabel diketahui bahwa thitung > ttabel (7,24 > 1,99). Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini Ha diterima sekaligus menolak H0 yang berarti Hasil belajar kimia siswa yang diajar melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Media Peta Konsep lebih tinggi daripada hasil belajar kimia siswa yang diajar dengan metode konvensional.

4.4. Pembahasan
Pada awal hendak melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu memberikan pretes kepada kedua kelas penelitian untuk melihat pengetahuan awal siswa mengenai materi pokok struktur atom. Dari hasil pretes tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata siswa pada kedua kelas tersebut tidak berbeda dan masih tergolong sangat rendah. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena siswa pada kedua kelas penelitian belum menerima pembelajaran mengenai materi pokok struktur atom dan hasil tersebut juga memberikan gambaran bahwa rata-rata tingkat pengetahuan awal siswa dari kedua kelas penelitian cenderung sama.
Sementara berdasarkan hasil postes setelah kedua kelas penelitian diberikan perlakuan dengan menggunakan metode yang berbeda diperoleh hasil bahwa baik rata-rata hasil belajar siswa dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan peta konsep maupun rata-rata hasil belajar siswa tanpa menggunakan metode pembelajaran tipe Jigsaw menggunakan peta konsep (konvensional) meningkat dibandingkan dengan sebelum kedua kelas penelitian mendapatkan perlakuan. Hasil postes menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa pada kelas eksperimen meningkat sebesar 37,50 satuan dibandingkan dengan rata-rata hasil belajar siswa sebelum diberikan pengajaran, sedangkan rata-rata hasil belajar siswa pada kelas kontrol juga meningkat sebesar 19,63 satuan. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa hasil belajar siswa pada kelas eksperimen meningkat lebih besar jika dibandingkan dengan dengan peningkatan hasil belajar siswa pada kelas kontrol ini disebabkan karena pada kelas eksperimen diberi pengajaran diskusi (siswa dituntut lebih kreatif daripada guru dan guru hanya sebagai fasilitator), sedangkan pada kelas kontrol semua pengajaran berasal dari guru. Dengan perbedaan besar peningkatan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada kedua kelas penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan peta konsep lebih efektif digunakan dalam mengajarkan materi pokok struktur atom dibandingkan dengan metode konvensional.
Metode pembelajaran merupakan salah satu indikator penting yang menentukan hasil belajar siswa. Jika metode pembelajaran yang digunakan dalam mengajarkan suatu materi pelajaran itu tepat, maka hasil belajar siswa juga cenderung meningkat lebih baik dan sebaliknya jika metode pembelajaran yang digunakan itu tidak tepat, maka peningkatkan hasil belajar siswa juga kurang begitu berarti (Rusyan, 2008). Dari hasil peneitian terlihat bahwa baik model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan peta konsep maupun model kooperatif tipe Jigsaw pada dasarnya sama-sama meningkatkan hasil belajar siswa. Namun jika dilihat besar peningkatan hasil belajar siswa pada kedua kelas, tampak bahwa hasil belajar siswa pada kelas eksperimen meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa pada kelas kontrol.
Metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan peta konsep pada dasarnya menekankan pada kerjasama antar siswa dalam kelompok diskusi dalam memetakan materi pelajaran dari konsep yang paling utama sampai pada konsep yang paling sederhana. Metode ini akan memancing daya kreativitas belajar siswa, karena siswa diarahkan menggunakan potensinya dalam usaha memetakan materi pelajaran sehingga siswa akan mendapatkan kemudahan dalam menyimpan informasi belajar dan mampu mengingat materi pelajaran dengan lebih baik dan lebih lama. teknik ini juga menjadikan kegiatan belajar mengajar lebih menyenangkan dan menantang bagi siswa karena setiap informasi belajar baru selalu berkaitan dengan informasi belajar yang lainnya. Dengan demikian maka siswa akan belajar menganalisis materi pelajaran dengan dengan mengaitkan setiap informasi yang ada.
Rusyan (2008) menyatakan bahwa pada hakekatnya anak didik telah memiliki potensi dalam dirinya untuk menemukan sendiri informasi belajar. Jadi informasi yang disampaikan guru hendaknya dibatasi pada informasi yang benar-benar mendasar yang berusaha memancing siswa untuk menggali informasi selanjutnya. Jika kepada para siswa diberikan peluang untuk mencari dan menemukan sendiri informasi belajar itu, maka kegiatan belajar mengajar akan menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan bagi mereka, sehingga kegiatan belajar tidak lagi menjadi hal yang membosankan bagi siswa, tetapi semakin menambah semangat belajar siswa untuk menemukan informasi belajar yang lain. Jadi kegiatan belajar mengajar itu sebaiknya dilaksanakan lebih fleksibel dan variatif seperti halnya pada metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan peta konsep.






















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
1. Hasil belajar kimia siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sibolga yang diajar dengan menggunakan metode kooperatif tipe jigsaw menggunakan peta konsep tergolong kategori tinggi dengan nilai rata sebesar 77,88.
2. Hasil belajar kimia siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sibolga yang diajar dengan menggunakan metode konvensional tergolong kategori sedang dengan nilai rata sebesar 60,13.
3. Hasil belajar kimia siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar kimia siswa pada kelas kontrol. Ini disebabkan karena pada kelas eksperimen guru hanya sebagai fasilitator dan siswa lebih dituntut untuk kreatif dibandingkan dengan kelas kontrol.

5.2. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan :
1. Agar guru kimia di SMA Negeri 1 Sibolga berkenan mencoba menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menggunakan peta konsep dalam mengajarkan materi pokok yang lainnya sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Bagi para pembaca dan peneliti lainnya, sebagai informasi dan masukan untuk menambah informasi dan referensi apabila hendak melakukan penelitian yang sejenis pada tempat dan waktu yang berbeda.







DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M., (1998), Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Akbar, Purnomo Setiady dan Husaini Usman, (2006), Pengantar Statistika, Penerbit Bumi Aksara.

Arends, (1997), Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran Geograpi Adaptasi Model Jigsaw dan Field Studi, Penerbit Pelangi Pendidikan, Jakarta.

Arikunto, S., (2003), Dasar- dasar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Djamarah, S., (2002), Strategi Belajar Mengajar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan, (2007), Buku Pedoman Penulisan Skripsi Mahasiswa dan Standar Operasional (SOP) Kepembimbingan Skripsi Program Studi Pendidikan, FMIPA Unimed, Medan.

http://nadhirin.blogspot.com/2008/08/metode-pembelajaran-efektif.html.
http://www.puspendik/ebtanas/LAP HASIL/wilprop.htm.
Kunandar, (2007), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi, Rajawali Pers, Jakarta.

Lie, Anita, (2004), Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, Penerbit Grasindo, Jakarta.

Nasution, Beti Ria Junita., (2008), Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Pokok Bahasan Struktur Atom kelas XI di SMA Negeri 1 batang Kuis Tahun Ajaran 2008/2009, Skripsi, FMIPA, Unimed, Medan.

Purba, M., (2007), Kimia Untuk SMA Kelas XI, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Purwanto, N., (2004), Psikologi Pengajaran, Penerbit Remaja Risda Karya, Bandung.

Santoso, Barskah., (1998) , Cooperative Learning: Penerapan Teknik Jigsaw Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia, Buletin Pelangi Pendidikan, Vol. 1-No. 1, h.7.

Slameto, (2003), Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Suasti, Yurni., (2003) , Upaya Peningkatan Kreativitas Siswa SMU Pembangunan UNP Melalui Modifikasi Cooperative Learning Model Jigsaw, Buletin Pembelajaran, Vol. 26-No. 04, h.325-326.

Sudarma, Unggul. 2006. Kimia Untuk SMA Kelas XI. Jakarta; Phibeta Anela Gama

Sudjana, (2002), Metode Statistika, Penerbit Tarsito, Bandung.
Sudrajat, A, (2008), Cooperative Learning Teknik Jigsaw
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/31/cooperative-learning-teknik-jigsaw/).

Sugiyono, (2008), Metode Penelitian Pendidikan Rineka Cipta, Jakarta.

Sutresna, N. (2007), Cerdas Belajar Kimia, Penerbit Bandung; Erlangga.
Syah, Muhibbin. (2003). Psikologi Belajar, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Winkel W.S., (2004), Psikologi Pengajaran, Penerbit Media Abadi, Jogjakarta.





Lampiran 1
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Nama Sekolah : SMA Negeri I Sibolga
Mata Pelajaran : Kimia
Kelas/ Semester : XI IPA/ I
Alokasi Waktu : 8 x 45 menit

I. Standar Kompetensi
Memahami struktur atom untuk meramalkan sifat – sifat periodik unsur, struktur molekul, dan sifat- sifat senyawa.

II. Kompetensi dasar
Menjelaskan teori atom Bohr dan mekanika kuantum untuk menuliskan konfigurasi elektron dan diagram orbital serta menentukan letak unsur dalam tabel periodik.

III. Indikator
• Menjelaskan teori atom mekanika kuantum
• Menetukan bilangan kuantum (kemungkinan elektron berada).
• Menggambarkan bentuk-bentuk orbital.
• Menjelaskan kulit dan sub kulit serta hubungannya dengan bilangan kuantum.
• Menggunakan prinsip Aufbau, aturan Hund dan azas larangan Pauli untuk menuliskan konfigurasi elektron dan diagram orbital.
• Menghubungkan konfigurasi elektron suatu unsur dengan letaknya dalam sistem periodik.




IV. Tujuan Pembelajaran
Peserta didik mampu :
• Menjelaskan teori atom mekanika kuantum dan menentukan bilangan kuantum.
• Menggambarkan bentuk-bentuk diagram orbital.
• Menjelaskan kulit dan sub kulit serta hubungannya dengan bilangan kuantum.
• Menggunakan pronsip Aufbau, aturan Hund, Azas larangan pauli untuk menuliskan konfigurasi elektron dan diagram orbital.
• Menghubungkan antara konfigurasi elektron suatu unsur dengan letaknya dalam sistem periodik.

V. Materi Pokok
• Teori atom Bohr dan mekanika kuantum.
• Bilangan kuantum dan bentuk orbital.
• Konfigurasi elektron (prinsip Aufbau, aturan Hund, dan larangan Pauli) dan hubungannya dengan sistem periodik.

VI. Strategi Pengajaran:
 Kooperatif tipe Jigsaw
 Ceramah
 Diskusi
 Peta Konsep
 Tanya Jawab
 Pemberian tugas